Rabu, 31 Oktober 2012

Siapkah Brand Hadapi Komentar Buruk di Social Media?


Banyak sudah kasus yang bisa menjadi pelajaran, salah satunya adalah video Youtube dari brand yang menjawab kritikan fesbuker.
Bodyform - Youtube Media sosial tidak seperti media massa, semua berita melalui proses penyuntingan. Di tangannetizen, media sosial adalah suara mereka sendiri, dan tak ada yang bisa memperingatkan kecuali dirinya sendiri.
Individu yang berjejaring, ini salah satu prinsip media sosial yang harus dianggap serius. Satu suara mungkin tidak berarti apa-apa, tetapi ketika satu jejaring terpengaruh, maka suaranya bisa dengan cepat membesar bak bola salju. 
Komentar pribadi ini bisa sangat memuja brand, atau sebaliknya, menghancurkan reputasinya. Sebaliknya, komentar itu bisa muncul justru dariblunder yang dilakukan brand.
Bayangkan jika suara itu, mengancam reputasi sebuah brand, baik dari kalangan bisnis, musisi, maupun individu yang eksis dengan personal brand-nya. Apa yang akan dilakukan? 
Nikon pernah menghadapi situasi krisis seperti ini ketika sebuah status di Facebook dipahami pembacanya sebagai sebuah penghinaan. Reaksi pun bermunculan. Mereka harus membuat pernyataan minta maaf lewat status baru untuk meredakannya.
Akun Twitter TVOne (@tvOneNews) juga pernah membuat kicauan aneh menanggapi kritik terhadap cara mereka meliput peristiwa bencana. Derasnya kritik yang bermunculan ke linimasa membuat akun itupun bereaksi. 
"Kami memang sedang fokus meliput bencana. Mohon maaf kepada pemirsa yang terus memaki kami. Silakan pindah saluran hiburan atau lawak," demikian kicaunya kepada lebih dari 150 ribu pengikutnya saat itu. Kicauan ini buru-buru dihapus, tetapi retweet-nya sudah menyebar luas.
Bukannya menyelesaikan masalah, kicauan itu malah mengundang masalah lebih besar. Beberapa media daring sempat melaporkan, A. Ardiansyah Bakrie, wakil direktur utama yang mewakili manajemen TV One, akhirnya turun tangan karena kicauan tersebut. 
Kicauan Ardi ini lengkapnya berbunyi demikian, "Dear tweeps,sy mewakili mngmnt tvOne,meMOHON MAAF yg sedalam-dalamnya,serta dr lubuk hati yg plg dlm atas tweet ( RT@tvOneNews: Kami memang sedang fokus meliput bencana. Mohon maaf kepada pemirsa yg terus memaki kami. Silakan pindah saluran hiburan atau lawak.) APAPUN alasannya, sngt TDK PANTAS utk sbh social media resmi,yg mewakilkan prsahaan utk menuliskan hal trsbt,utk itu kami akn memberikan PERINGATAN KERAS kpd ybs.Sekali lg, mohon dibukakan pintu maaf atas hal trsbt. Wass."
Komentar-komentar buruk terhadap sebuah brand, seharusnya dihadapi sebagaimana fitrah media sosial itu sendiri. Ia adalah sebuah media komunikasi dua arah, kita seperti bercakap-cakap langsung dengan yang bersangkutan di depan publik. Kalau Anda dikritik orang di depan publik, bagaimana Anda akan bereaksi?
Cerita tentang pengalaman Bodyform mungkin menarik untuk disimak. Di Halaman Facebookmereka, suatu ketika mendapat kritik pedas dari seorang pengunjung, Richard Neill. Yang dipersoalkan adalah iklan Bodyform sebagai produk pembalut wanita, yang dianggap berbohong. Komentar itu mendapat puluhan ribu "Likes". 
Ia kesal karena menurut pengalamannya, wanita ketika akan dan sedang mengalami masa haid, bukanlah masa yang menyenangkan. Karena itulah ia marah-marah di Halaman Facebook Bodyform, dan menuding mereka berbohong karena menampilkan iklan yang seolah-olah wanita tetap berbahagia ketika menghadapi masa haid.
Bukannya dibalas dengan kemarahan atau meminta maaf, Bodyform malah berterima kasih. Mereka menjawabnya melalui video parodi di Youtube, berterimakasih pada Neill, dan menjelaskan beberapa hal di balik iklan tersebut. Pendekatannya tidak normatif, lucu, dan justru memanfaatkan komentar di Facebook sebagai bahan kampanye.
Bodyform, pasti tidak main-main dengan jawaban tersebut. Mereka merancangnya dengan sangat teliti, dan melalui proses pengambilan keputusan yang cukup rumit. Cara mereka dalam mengatasi krisis ini, jelas bukan cara yang populer saat itu, terutama terkait kebijakan perusahaan. Tapi, cara itu sukses. Video di Youtube tersebut malah menjadi pesan berantai, tersebar luas menjadi "pesan kampanye" yang menjangkau banyak orang.
Seberapa jauh brand akan mengambil keputusan menghadapi situasi krisis di media sosial? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar